Per 1 April 2019, layanan moda trasportasi masal pertama di Jakarta, MRT, telah beroperasi penuh. Masyarakat kini sudah bisa menikmati MRT yang mampu mengangkut 28.800 penumpang per hari.
Persoalan tarif yang sempat mengemuka, sudah terselesaikan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menyetujui tarif MRT Jakarta sebesar Rp 10.000 per 10 kilometer (km). Tarif antar stasiun berbeda-beda. Tarif minimum ditetapkan sebesar Rp 3.000 sedangkan tarif maksimal adalah Rp 14.000.
Jika persoalan tarif sudah tuntas, berbeda dengan layanan telekomunikasi. Hingga saat ini mayoritas operator masih menahan diri untuk memasang jaringannya di sepanjang jalur MRT. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, operator telah diberikan kesempatan untuk melakukan uji coba.
Hal ini membuat konsumen memiliki kendala telekomunikasi ketika mereka memasuki jalur bawah tanah moda raya transportasi masal tersebut.
Hingga Rabu (27/3) baru ada sinyal Telkomsel dan Smartfren yang bisa dinikmati penumpang di 13 stasiun MRT, yang memanjang dari kawasan Lebak Bulus hingga Hotel Indonesia. Baik XL Axiata, Indosat Ooredoo dan Tri, kompak mengatakan bahwa biaya sewa atau pemasangan jaringan telekomunikasi di MRT Jakarta dinilai terlalu mahal bagi operator selular.
Direktur Teknologi XL Axiata Yessy D. Yosetya, menegaskan bahwa hingga saat ini negosiasi dengan Tower Bersama Group (TBG) sebagai penyedia infrastruktur telekomunikasi di MRT, masih terus dilakukan.
“Status saat ini masih negosiasi dengan komersial yang belum bisa putus karena masih ada diskusi lanjutan, jadi belum ada titik temu,” ungkap Yessy di sela-sela XL Axiata Media Gathering di Banyuwangi (4/4/2019).
Yessie mengakui jika hingga saat ini layanan XL Axiata belum bisa di akses oleh para pelanggan saat berada di tunnel MRT mulai dari stasun Blok M hingga Bundaran Hotel Indonesia ataupun sebaliknya.
“Di MRT tidak blank sinyal XL, jadi hanya di tunnel bawah sekitar 10 sampai 12 menit dari Blok M sampai Hotel Indonesia,” jelasnya.
Belum adanya kesepakatan karena pihaknya menilai, MRT adalah bagian dari ruang publik. Sehingga pihaknya berharap pemerintah dapat turun tangan. Dengan negosiasi yang belum berujung, Yessi menilai hal ini dapat menjadi momentum bagi seluruh stake holder.
Ia mengatakan bahwa aturan khusus untuk penyediaan layanan di ruang publik perlu dibahas oleh para pemain di industri telekomunikasi di tanah air.
“Ini hal penting yang perlu dibahas industri selular, walaupun ini B to B antara kami dengan penyelenggara MRT. Tapi ini ruang publik harusnya ada aturan yang memudahkan jaringan telekomunikasi hadir di sana,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Selular, tarif yang ditentukan TBG berkisar Rp 4,5 miliar hngga Rp 5 miliar untuk tahun pertama dan tahun kedua.
Dalam penjelasan sebelumnya, M Danny Buldansyah, Wakil DIrektur Utama Hutchinson Tri Indonesia mengatakan bahwa, biaya pasang yang ditawarkan oleh TBG itu jauh dari nilai ekonomis bagi operator.
“Kalau dari nilai ekonomis seharusya sekitar Rp 100 juta sampai Rp 150 juta per bulan. Maksimum Rp 200 juta per bulan,” ungkap Danny.
Menurut Danny angka tersebut mempertimbangkan jumlah pemakai fasilitas MRT baik in train maupun outside train. Sedangkan angka yang dikeluarkan oleh TBG dihitung berdasarkan cost yang sudah dikeluarkan, baik infrastruktur maupun biaya sewa konsesi ditambah biaya perawatan.